Rumah Pengasingan Bung Karno
Rumah Pengasingan Bung Karno.
Rumah Tempat Pengasingan Ir. Soekarno di Ende.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Kata kata tersebut pastilah tidak asing lagi bagi kita bangsa Indonesia bahkan ada sebuah slogan pendek yang selalu diingat, “Jas Merah” Jangan Sekali Kali Melupakan Sejarah. Sudah mulai menemukan titik terang? Yup, betul sekali kata-kata tersebut memang dicetuskan oleh presiden RI pertama kita yakni Ir. Soekarno.
Jika berbicara tentang beliau maka sudah dapat dipastikan akan menjadi cerita yang teramat panjang dan menyedihkan. Seorang proklamator yang berjuang dengan seluruh hati dan pikirannya yang malahan diganjar pengasingan hingga ajal. Memang sejarah yang akan sangat pilu jika melihat kebelakang akan sosok Bapak Bangsa ini. Salah satu jejaknya kini tengah saya telusuri. Membuat mata berkaca dan tentu saja hati carut marut tak karuan.
Rumah tempat pengasingan Bung Karno di Ende adalah jawaban dari hati galau yang kini saya alami. Berkunjung ke NTT memang menjadi pilihan liburan saya kali ini.
Selain untuk menikmati pariwisatanya yang menakjubkan, kulinernya yang akan membuat mata merem melek, musiknya yang syahdu mendayu hingga sejarahnya yang membuat hati galau tak menentu. Hanya berupa sebuah rumah dengan ukuran yang tidak terlalu besar, pahlawan besar kita pernah menetap di dalamnya. Mengais semangat karena terasing dari seluruh yang ia cintai. Tidak hanya keluarga, lebih-lebih rakyat yang menunggu, menanti kepastian akan nasib yang lebih baik, menanti suaranya, tawanya, dan perintahnya. Namun di sinilah ia belajar untuk berdamai dengan dirinya, bahkan menyusun rencana untuk lebih maju lagi, menyudahi penjajahan ini.
Rumah yang semula dimiliki oleh Abdullah Ambuwaru ini memang menjadi tempatnya bernaung. Bersama istrinya, ibu mertua, dan dua anak angkatnya, Soekarno menghabiskan masa masa pengasingannya di Ende. Semula ia merasa sangat gundah karena tidak bisa berbicara dengan rakyatnya, ruang gerak terbatas dan tidak diperbolehkan untuk melakukan gerakan apapun.
Diam dan hidup seperti kebanyakan orang membuat jiwa patriotnya sempat berontak. Stress berat melanda sang pahlawan dan membuatnya menjadi gundah, namun setelah mampu berdamai dengan dirinya, ia kemudian memutuskan untuk berkeliling kampung dan menyapa rakyat Ende. Hal ini bahkan dimanfaatkannya untuk berkunjung ke Danau Kelimutu, yang terkenal akan keindahannya.
Berlama-lama memperhatikan danau itu, ia bahkan mulai jatuh cinta dan melahirkan sebuah naskah drama yang berjudul “ Rahasia Kalimutu”. Tidak hanya itu, ia mulai sadar bahwa pengasingan ini boleh memenjarakan raganya namun tidak pikiran dan jiwanya, maka ia mulai bergaul dengan semua orang dari berbagai kalangan dan agama serta menggali banyak pengetahuan dari mereka.
Salah satu yang cukup banyak bertemu dengannya adalah pastor paroki Ende masa itu yaitu Gerardus Huijtink. Berteman akrab membuat sang pahlawan kembali berfikir jernih dan mampu menguasai semangatnya kembali. Bahkan ditempat inilah ia mulai kembali memikirkan rumusan Pancasila yang hingga kini menjadi dasar tak tergoyahkan negara kita Indonesia.
Banyak berpikir dan merenung membuat sosoknya sangat lekat di mata masyarakat sehingga kini kita dapat menjumpai patung sang proklamator yang sedang duduk merenung di taman Perenungan Bung Karno yang berada di Kelurahan Rukun Lima. Patung tersebut sungguh mirip dengan sosok, postur dan mimik beliau. Diam mengawang, memikirkan seluruh rakyat dan tanah airnya yang sedang menderita.
Pandangan patung tersebut jauh tertumpu di lautan biru, semakin merinding dan sedih saya dibuatnya ketika melihat patung itu berlama lama. Masih ada bukti sejarah lainnya yang tak lekang oleh usia yaitu pohon sukun peneduh patung yang hingga kini masih berada di tempatnya dan masih kokoh berdiri menaungi patung sang proklamator.
Banyak sejarah yang dibahasakan dalam diam di tempat ini. Bagaimana sebuah lukisan umat hindu bersembayang yang dilukis sang proklamator menceritakan betapa menghargainya beliau akan keberagaman budaya serta agama rakyatnya serta perabot sederhana yang memang sangat mencerminkan kesederhanaan beliau setiap harinya.
Tak ada kesan mewah dan berleha leha yang ada hanyalah semangat yang tertinggal dalam semua jejaknya dalam rumah. Saya lantas beranjak tak tahan jika air mata mulai mengaburkan pandangan. Sedih, hanya itulah kata yang tertinggal.
Leave a Reply